Rabu, 22 Februari 2012

Belajar Dari Elang


Elang, hewan berdarah panas yang mampu terbang jauh dan dapat mencengkram mangsanya dengan cakar yang kuat serta paruhnya yang tidak bergigi tetapi bengkok dan kuat untuk mengoyak daging mangsanya. Elang adalah burung yang mampu terbang paling tinggi di dunia bahkan membuat sarang di ketinggian. Padahal semua tahu bahwa di ketinggian, angin selalu bertiup sangat kencang. Dan disaat hujan, dimana semua burung mencari tempat berteduh, elang akan terbang menembus pekatnya awan hujan karena yakin diatas awan yang pekat tersebut tidak ada hujan. Umurnya dapat mencapai 70 tahun, tetapi untuk mencapai umur sepanjang itu seekor elang harus membuat suatu keputusan yang sangat berat pada umurnya yang ke-40.
Keputusan itulah yang akhirnya menjadi pilihan bagi hidupnya. Ketika elang berumur 40 tahun, cakarnya mulai menua, paruhnya menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dadanya. Sayapnya menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal, sehingga sangat menyulitkan waktu terbang. Pada saat itu, elang hanya mempunyai dua pilihan: Menunggu kematian, atau mengalami suatu proses transformasi yang sangat menyakitkan selama 150 hari.
Untuk melakukan transformasi itu, elang harus berusaha keras terbang ke atas puncak gunung untuk kemudian membuat sarang di tepi jurang , berhenti dan tinggal disana selama proses transformasi berlangsung, tanpa makanan sedikitpun.
Pertama-tama, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dari mulutnya, kemudian berdiam beberapa lama menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan paruh yang baru tumbuh itu, ia harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya dan ketika cakar yang baru sudah tumbuh, ia akan mencabut bulu badannya satu demi satu. Suatu proses yang panjang dan sangat menyakitkan. Lima bulan kemudian, bulu-bulu elang yang baru sudah tumbuh. Elang mulai dapat terbang kembali.
Adakah kita pernah sedikit merenungkan bahwasanya terkadang kita hidup dalam lingkaran pilihan yang sulit namun selalu paralel dengan sedikit kebebasan dalam memilihnya? Terkadang, kita lebih memilih untuk mempertahankan kebanggaan yang selama ini membuat kepala kita berdiri tegak walaupun untuk mempertahankannya kita rela untuk mengorbankan segala cara termasuk prinsip? Terkadang kita tidak berani untuk melepaskan kenyamanan sesaat ini demi mencapai kenyamanan yang lain di masa yang akan datang. Kita sering kali takut akan perubahan, padahal masa depan yang cerah menunggu kita jikalau kita bisa berubah.
Belajar dari kisah si Elang, betapa tidak berdayanya dia ketika harus melepaskan kebanggaan demi mempertahankan hidup dan meneruskannya dengan lebih baik. Seharusnya kita pun mampu untuk melakukan hal yang sama. Belajar mengorbankan kebanggaan kita demi mempertahankan sesuatu yang jauh lebih bermakna bagi diri kita sendiri, orang lain maupun bangsa dan negara kita di masa yang akan datang.
Sebagai manusia kita memang memiliki kebebasan untuk memilih. Namun sayangnya ada zona kenyamanan yang seringkali membatasi pilihan-pilihan hidup kita. Tetapi benarkah kita lebih menyukai kenyamanan sekarang ini dibandingkan kenyamanan lain. Kenyamanan lain? Ya, ada beberapa hal yang selama ini kita tidak miliki dan sangat ingin kita miliki, tetapi itu berarti kita harus mengubah sesuatu. Cara hidup kita selama ini perlu kita ubah bila kita ingin mendapatkan sesuatu. Dan Tuhan Maha Besar, telah memberikan banyak sekali contoh dan pelajaran, salah satunya melalui si Elang.

Sabtu, 18 Februari 2012

Akankah opera itu kembali terjadi?


Beberapa helai kertas kerja mendarat di meja kerja Perdana Menteri Menachem Begin, jika saja tidak memakai kop Menora, simbol MOSSAD, Begin pasti akan mengabaikannya. Isinya singkat dan padat. Tanpa basa-basi, "Tuan Perdana Menteri, dalam tempo delapan belas hingga dua puluh empat bulan dari sekarang, Irak akan berhasil memproduksi bom atomnya sendiri. Saran kami hanya satu: Hancurkan!"

Keseluruhan misi hanya memakan waktu tiga jam. Operasi Babylon pun selesai. Herannya, dunia internasional hanya bisa mengeluarkan kecaman yang tidak memiliki implikasi apa pun terhadap keberadaan negeri zionis ini. Dalil penyerangan terhadap reaktor Irak yang dikemukakan Israel sebagai bentuk pertahanan diri diterima begitu saja. Padahal, diam-diam, Israel juga memiliki pusat reaktor nuklir yang oleh banyak kalangan bahkan diyakini sengaja memproduksi senjata pemusnah massal (Weapons of Mass Destruction).

Menachem Begin terdiam sesaat. Dia kemudian mengangkat telpon, mengontak Gedung Putih. Hanya dalam hitungan detik, suara Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, terdengar. Perdana Menteri Israel yang berasal dari Partai Likud ini dengan datar menyampaikan laporan anak buahnya. “Jika dunia internasional tidak membantu kami, maka kami akan bergerak sendiri,” Begin mengakhiri pembicaraan.

Di seberang Samudera Atlantik, Carter hanya bisa mengangguk. Presiden Amerika ini sangat paham bahwa Begin tidak sedang bercanda, “Ya, kami akan membantu dengan sebaik-baiknya.” Telepon ditutup.

Upaya Carter ternyata tidak maksimal. Zionis-Israel hilang kesabarannya. Pembangunan instalasi nuklir Irak yang dibantu Perancis sudah lama dianggap duri dalam daging yang sewaktu-waktu bisa sangat menyakitkan. Petinggi Israel sudah lama menugaskan MOSSAD untuk mengawasi proyek mercusuar Negeri Seribu Satu Malam ini tiap detik. Sejak 1976, MOSSAD telah membentuk satu unit tim khusus dengan misi utama menyabot usaha Irak dalam menguasai teknologi nuklir.
Di akhir Maret 1979, agen MOSSAD yang ditanam di Perancis mengendus adanya rencana pengiriman inti reaktor nuklir ke Irak. Rencana sabotase disusun dengan cermat. Tepat sehari sebelum dikapalkan, pada 6 April 1979, tiga buah bom meledak di fasilitas nuklir milik perusahaan Perancis bernama Constructions Navales et Industrialles de la Mediterranee di La Seyne-sur-Mer dekat Marseilles, menghancurkan inti reaktor yang siap diberangkatkan. Sabotase ini mengundurkan program Irak sekurangnya selama setengah tahun. Bom-bom juga dipasang di kantor-kantor dan rumah-rumah para pejabat pemasok kunci Irak di Italia dan Perancis pada tahun itu.

Tak sampai setahun kemudian, pada 13 Juni 1980, Dr. Yahya Meshad, pakar fisika nuklir Mesir yang bekerja pada Komisi Energi Atom Irak, mati terbunuh di Paris di dalam kamarnya. Keberadaan Meshad saat itu untuk memeriksa uranium yang telah diperkaya yang hendak dikapalkan sebagai bahan bakar utama bagi reaktor nuklir Irak. Victor Ostrovsky, mantan agen MOSSAD yang membelot, mengatakan bahwa rangkaian teror tersebut didalangi oleh MOSSAD yang menamakannya Sphinx Operation.

Menachem Begin tidak sabar. Sejumlah jenderal Israel yang gemar perang pun sudah mendesak agar Israel segera memberi pelajaran kepada Irak. Serangan kilat harus secepatnya dilaksanakan. Apalagi Israel telah memiliki gunungan data dan informasi tentang instalasi nuklir Osirak. Akhirnya Begin meneken surat perintah penyerangan ke Osirak. Nama sandinya Operation of Babylonia.

Dennis Eisenberg (MOSSAD, vol.II, 1986) menulis, “Minggu petang, 7 Juni 1981. Pantulan cahaya matahari berkilau di ujung landasan pacu Bandara Etzion di Gurun Sinai. Di menara pengawas, seorang jenderal AU-Israel berdiri di samping sebuah pesawat telepon khusus yang langsung terhubung ke pusat komando di Tel Aviv. Dalam hitungan menit, empatbelas pesawat tempur paling mutakhir di dunia keluar dari ruangan besar di bawah tanah. Mereka berjajar rapi di depan hanggar. Para pilotnya sudah berada di bawah kokpitnya masing-masing. Mereka tengah melakukan checking terakhir untuk satu misi yang dikatakan sang jenderal sangat penting bagi kelangsungan hidup negeri Zionis ini.”
Delapan pesawat berjenis F-16 Fighting Falcon yang diberi kode F-16I. Pesawat itu tiba di Israel dari AS tahun 1977. Setelah dimodifikasi Israel, pesawat itu kini punya banyak kelebihan, di antaranya mampu menggendong 2000 bom berbobot 16 ton TNT, belum termasuk rudal Sidewinder di bawah dua sayapnya.

Enam pesawat lainnya F-15 Eagle, sebuah pesawat tempur setingkat lebih canggih dari F-16. Keempatnya ditugaskan untuk mengawal delapan F-16I selama misi.

Jarum jam di menara pengawas telah menunjuk waktu 16.40 waktu setempat. Pesawat telpon dekat sang jenderal berdering. Pesannya singkat dan datar, “Berangkat.” Tidak berapa lama kemudian, burung-burung besi itu telah mengudara dengan gelegar suara yang sanggup merobek gendang telinga.

Sesuai rencana, empatbelas pesawat tempur itu terbang ke arah selatan sedikit lalu belok ke kiri, menyusur garis perbatasan Yordania dengan Saudi Arabia, kemudian langsung menuju Sungai Tigris. Di wilayah perbatasan kedua negara, pantauan radar tidak efektif. Alat pendeteksi bunyi pun tidak mampu menangkap sinyal apa-apa sehingga jalur ini dianggap paling aman.

Setelah terbang sejauh 965 kilometer, pesawat pertama mengirim sepasang rudal yang dikendalikan video dan tepat menghajar kubah utama reaktor nuklir Irak. Dalam hitungan sepersekian detik, pesawat kedua menjatuhkan muatan bomnya tepat di atas kubah yang sudah bolong dan menghantam semua mesin yang ada di dalamnya. Pelindung atom dan inti reaktor hancur. Seluruh mesin reaktor tersebut jatuh berkeping-keping ke dalam kolam pendingin di bawahnya. Api berkobaran di atas langit sore Irak yang mulai temaram.
Keseluruhan misi hanya memakan waktu tiga jam. Operasi Babylon pun selesai. Herannya, dunia internasional hanya bisa mengeluarkan kecaman yang tidak memiliki implikasi apa pun terhadap keberadaan negeri zionis ini. Dalih penyerangan terhadap reaktor Irak yang dikemukakan Israel sebagai bentuk pertahanan diri diterima begitu saja. Padahal, diam-diam, Israel juga memiliki pusat reaktor nuklir yang oleh banyak kalangan bahkan diyakini sengaja memproduksi senjata pemusnah massal (Weapons of Mass Destruction).

Dalam lawatannya ke Jerman pekan kedua Desember 2006, Perdana Menteri Ehud Olmert ketika diwawancara Stasiun Televisi N24 Sat1 secara tegas menyatakan, “Iran, secara terbuka, eksplisit, dan umum mengancam untuk menghapus Israel dari peta dunia. Dapatkah Anda katakan, ini sama artinya bahwa Iran ingin punya senjata nuklir seperti yang dimiliki Perancis, Amerika, Rusia, dan Israel.”

Pernyataan Olmert memicu kegeraman di kalangan Israel sendiri, karena selama ini Israel menjalankan politik ambiguitas tentang nuklir: tidak mengakui tetapi tidak juga menyangkalnya.

Menteri Pertahanan AS yang baru, Robert Gates, juga mengamini Olmert dan mengatakan kepada Senat, “Iran ingin memiliki senjata nuklir karena dikelilingi negara-negara nuklir seperti Pakistan di timur, Rusia di utara, Israel di barat, dan AS di di Teluk Persia.”

Keterus-terangan Olmert tentang kepemilikan senjata nuklir oleh Israel dikecam di dalam negeri, tetapi mendapat pembenaran di luar Palestina. Mantan teknisi reaktor nuklir Dimona-Israel, Mordechai Vanunu, yang pernah ditangkap MOSSAD pada tahun 1986 dan dipenjarakan 18 tahun karena dianggap membocorkan rahasia instalasi tersebut menyambut gembira pernyataan itu.

“Ucapan Olmert bukanlah hal baru, tetapi bagus jika Israel memutuskan untuk mempublikasikannya. Seharusnya, dunia kini tidak hanya membahas Iran, tetapi juga Isael sebagai satu ancaman, terkait kesepakatan guna membuat Timur Tengah bebas nuklir dan damai,” ujar Vanunu.

Dan setelah melihat perkembangan kawasan timur tengah sekarang ini menyangkut nuke-nya Iran, apakah operasi semacam itu bisa terjadi lagi?

(berbagai Sumber)